
Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang.
Sejak itu,
orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah
Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini
antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan
Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian
ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai
1913.
Suku Asmat yang
tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di
perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung
tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan
demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan
baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat Kesehatan
Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan
peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat
Asmat.
- Asal Usul Suku Asmat
Menurut Pastor
Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang
Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta).
Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak
sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung
sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah
yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang
diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia
masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya
setiap hari.
Tiba-tiba,
bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti
irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian
berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti
irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut
bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus
mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah
panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi
orang-orang Asmat seperti saat ini. Bentuk tubuh orang Asmat berbeda
dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan tengah atau di nagian
pantai lainnya.
Tinggi badan
kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan
tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya
adalah bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung
mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat pada umumnya tidak banyak
menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka
terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan
posisi berdiri sehingga otot-otot tangan dan dadanya tampak terlihat
tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena banyaknya
perkerjaan yang harus mereka lakukan.
Suku Asmat
berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih
merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya
Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah
administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan,
yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah
masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.
Jumlah penduduk
di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun
2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di
Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara
28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara
keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9
persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21
sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua
setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar
kelompok atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab
kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak
disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Perkampungan
orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan
jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola
memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga
mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat
dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian
tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai,
rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu
sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
Suku Asmat
mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya membuat
ukiran tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh orang Asmat
memiliki makna sebagai persembahan atau ucapan rasa syukur kepada nenek
moyang. Mengukir adalah jalan untuk berinteraksi dengan leluluhur.
Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng sebagai bentuk
upaya menghindarkan diri dari musibah dan marabahaya. Selain itu, Suku
Asmat juga suka berhias.
No comments:
Post a Comment