Dr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu aa adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.
Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.
Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di jakartaDr Muwardi (1907-1948)
13 September yang patut dikenang Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah
abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi, yang terkenal sebagai
Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu
senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas.
Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang
yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan
untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan
gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun
hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa
perikemanusiaan yang luhur.
Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit
pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di
lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu
dan celananya. “Tidak !”. “Jangan !” “Pak dokter harus tetap bersih,
agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak
mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di
punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit.
Demikian pula pulangnya kembali ke mobil. Begitulah kecintaan rakyat
gembel kepadanya. Setiap kalender menunjuk tanggal 13 September, itu
adalah tanggal yang patut dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia,
sebab pada tanggal 13 September 1930 oleh prakarsa seorang pemuda
Muwardi lahirlah kepanduan baru di Jakarta, sebagai penjelmaan dari
bersatunya tiga organisasi kepanduan di Indonesia yaitu Pandu
Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders
Organisatie.
Organisai kepanduan yang menjadi cikal bakal Pramuka itu bernama : Kepanduan Bangsa Indonesia.
Delapan belas tahun sesudahnya tepat pada tanggal yang sama yaitu pada
tanggal 13 September 1948. Dokter Muwardi berangkat ke rumah sakit
Jebres dengan menggunakan kendaraan andong untuk melakukan operasi
terhadap seorang pasien, seorang anak yang menderita sakit parah.
Walaupun dilarang oleh anggota staf Barisan Banteng, Dokter Muwardi
tetap berangkat. “Wis Yo Jeng!” (sudah ya Dik !). “Dag Pap !”, jawab
istrinya, Soesilowati. Baru sampai di pintu depan ia kembali karena ada
sesuatu yang ketinggalan, lalu berangkat lagi sambil berpamitan sekali
lagi Wis yo Jeng !”. Istrinya heran dan sambil tertawa menjawab “Ah Pap,
kok seperti penganten baru !”.
Soesilowati tentu tidak akan mengira bahwa kata-kata pamitan Muwardi
yang dirasa lucu tersebut merupakan kata-kata terakhir dari suami
tercinta. Sebab setelah itu, dokter yang penuh dedikasi itu tidak pulang
lagi selama-lamanya, hilang tak tentu dimana. Sekarang orang, pengikut
dan kawan seperjuangan Muwardi di seluruh Indonesia dalam berbagai
organisasi organisasi dan partai.
Hampir seluruhnya sudah meninggal. Namun, jika kepada mereka ditanya
pendapat mereka tentang Muwardi, semua tentu akan menyatakan bahwa Dr.
Muwardi adalah salah seorang pemimpin Indonesia yang telah hidup
sederhana, berjuang secara konsekwen dan mati menyedihkan untuk
rakyatnya !. Rasa kemanusiaan Muwardi yang besar di masa itu kepada
sesama patut menjadi cerminan dokter masa kini di Solo, agar tidak
melakukan tindakan diskrimisasi terhadap manusia.
Putera Seorang Guru dari Jakenan
Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing
30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera
ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Sebuah
kedudukan yang sangat berwibawa pada zaman itu. Muwardi adalah
ber-13-saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo
yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi
wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu
Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun
1940-1950 yang merupakan kakak dari Muwardi. Analis kesehatan yang
lainnya adalah adik Muwardi yaitu Darsono.
Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari
Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi
masih keturnan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ke tiga belas
bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu :
Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Karena sebab itulah Muwardi lebih sering
bermain dan dengan kedua kakaknya yaitu Soepadi dan Soenarto (Kepala DPU
Jateng era 1970-an) seperti pada umumnya kakak beradik mereka bertiga
ini sering sekali berbuat kenakalan dan berantem di antara mereka
sendiri. Muwardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga
tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas
yang tidak semua masyarakat Indonesia pada saaat itu (bahkan hingga saat
ini), salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.
Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk
mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi
dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah
dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik,
Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai
dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat
kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh
dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere
School di Pati.
Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah
dari Mayjen Ernst Julius Magenda-Direktur Intelejen ABRI era 1960-an)
memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot
Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di
Jakarta. Pada zaman itu, tidak hanya kecerdasan otak yang dapat
mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga
rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang
diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan
karena bodoh.
Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan
Muwardi harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan
membutuhkan waktu yang cukup lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun
seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu (1931) diberikan
kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di
STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai
Beroeps-Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School
(Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).
Muwardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan
kota Jakarta. Muwardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui
keahliannya. Selama lima tahun Muwardi bekerja sebagai dokter swasta.
Muwardi pernah tinggal di Kebonsirih, dimana istrinya yang pertama
(Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri
(Tjitjik) dan seorang putera (Adi) yang masih bayi. Muwardi juga pernah
berdiam di Tanahabang, dekat jalan Kebayoran atau Palmerah.
Ditengah-tengah masyarakat gembel, yang menyebabkan dia mendapat julukan
Dokter Gembel dari kawan-kawan seprofesi nya, julukan ini terdengar
merendahkan namun sebenarnya menyiratkan kekaguman. Karena tak semua
orang berani dan rela melakukannya, bukan ?!. Merintis kepanduan
Indonesia Pada masa belajar di STOVIA, Muwardi, menunjukkan minat yang
besar terhadap pergerakan pemuda. Ia masuk Jong Java dan giat dalam
kegiatan kepanduan. Pada masa-masa awal belajar di STOVIA Muwardi pernah
menjadi anggota Nederlansch Indiche Padvinder Vereneging (NIPV).
Organisasi pandu yang dimulai oleh adanyacabang Nederlandse sPadvinders
Organisatie (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I
memiliki kwartir besar tersendiri kemudian berganti nama
menjadiNederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) pada tahun
1916. Keanggotaan NIPV terdiri dari anak-anak Belanda dan Bumi Putera.
Dalam organisasi tersebut juga terdapat NIPC (Nederlands Indische
Padvinders Club) organisasi kepanduan untuk usia anak-anak, tercatat Sri
Sultan Hamengkubuwana IX pada saat kelas 3 Eerste Europese Lagere
Schoolpernah bergabung dengan organisasi ini.
Muwardi adalah seorang pandu yang aktif dan disiplin.Karena
kecakapannya, Muwardi sampai dipilih menjadi Assistant Troep atau
Ploeg-leider atau Kepala Pasukan Pandu. Tingkat tersebut pada NIPV
adalah tingkatan Pandu kelas I. Padahal tingkatan tersebut adalah
tingkatan yang jarang dicapai oleh seorang pandu bumi putera yang
bernaung dibawah panji-panji NIPV. Namun, Muwardi tak lama menjadi
anggota NIPV, rasa nasionalisme lah yang membuat Muwardi memilih untuk
pergi meninggalkan NIPV untuk selama-lamanya.
Pada waktu dia hendak diangkat menjadi kepala pasukan kepanduan dia
menolak mengucapkan sumpah setia terhadap Raja Belanda. Peristiwa keluar
dari NIPV itu terjadi tahun 1925. Selain aktif di gerakan kepanduan
Muwardi juga aktif dalam Jong Java, karena kecerdasannya dan kecintaanya
pada dunia jurnalistik pada tahun 1922 Muwardi mendapat kepercayaan
untuk memimpin Redaksi Majalah Jong-Java bersama adiknya, yaitu Sutojo.
Kemudian tahun 1925 Muwardi dipercaya sebagai Ketua Jong-Java Cabang
Jakarta. Dan terpilih sebagai salah satu utusan Jong Java pada Kongres
Pemuda Nasional di Jakarta. Muwardi termasuk yang ikut mengikrarkan
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Karena sumpah itu maka Jong Java dalam kongresnya pada bulan Desember
1928 dapat menerima fusi atau peleburan dengan organisasi kepemudaan
lainnya. Peleburan Jong Java bersama dengan perkumpulan-perkumpulan
pemuda lain di Indonesia, seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong
Minahasa, Sekar Rukun (Sunda), Sangkoro Mudo (Jawa) menjadi Indonesia
Muda (I.M) yang berdasarkan kebangsaan.
Jong Java mempunyai organisasi kepanduan yang bernama Jong Java
Padvinderij (JJP), Muwardi adalah pemimpin dari JJP dan memimpin Redaksi
Majalah Pandu, hingga akhirnya pada tahun 1925 Muwardi berinisiatif
untuk mengubah nama Jong Java Padvinderij menjadi Pandu Kebangsaan. Yang
sangat membuat kagum adalah inisiatif pribadi Muwardi untuk mengubah
nama Padvinderij menjadi Kepanduan adalah jauh sebelum Bapak Haji Agus
Salim menganjurkan pemakaian istilah “Pandu” dan “Kepanduan” untuk
menggantikan kata “Padvinder” dan “Padvinderij”, sebab istilah tersebut
dilarang oleh N.I.P.V. yang merasa sebagai organisasi resmi kepanduan
pada masa itu. Pada tahun 1926
Muwardi menjabat sebagai Komisaris Besar, memimpin Kwartir Besar
Kepanduan-kepanduan Jong Java Padvinderij. Didorong oleh semangat
persatuan yang memuncak di kalangan pemuda waktu itu, maka pada 23 Mei
1928 dilangsungkan pertemuan antara wakil kepanduan se-Indonesia di
Jakarta, yang dihadiri oleh Pandu Kebangsaan, NATIPIJ (Nationale
Islamietishe Padvinderij) dari Jong Islamieten Bond, INPO (Indonesische
Nationaal Padvinders Organisatie) dari Pemuda Indonesia, sedangkan
S.I.A.P. (Syarikat Islam Afdeling Padvinderij) dari Syarikat Islam, dan
“Padvinder Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi H.W
(Hizbullah Wathon) dari Muhammadiah yang tidak hadir karena berhalangan.
Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya PAPI (Persatuan Antara Pandu
Indonesia).
Di lain tempat misalnya di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dimana
terdapat lebih dari satu kepanduan didirikan PAPI setempat. Di Solo
badan itu bernama Badan Persatuan Kepanduan Surakarta, di Yogyakarta
bernama : Badan Persatuan Kepanduan Mataram, namun dengan maksud dan
tujuan yang sama. Setahun kemudian pada 15 Desember 1929 PAPI mengadakan
pertemuan ke II di Jakarta, dalam pertemuan Pandu Kebangsaan (PK)
melalui Muwardi mengusulkan supaya diadakan peleburan (fusi) bagi semua
organisasi kepanduan untuk dibentuk menjadi Satu Organisasi Kepanduan
Indonesia (SOKI). Dalam konfrensi itu tak terdapat kata sepakat yang
bulat dari kepanduan yang berbeda asasnya khususnya kepanduan yang
berasaskan agama untuk bersatu bersama-sama sesuai usul Muwardi.
Untuk menjaga keutuhan persaudaraan maka diambil jalan tengah dengan
membentuk dua panitia, dengan tugas mempelajari penyelenggaraan dan
rencana pelaksanaannya, bagi kepanduan yang berdasar pada asas
kebangsaan semata-mata dan lainnya dengan yang mengutamakan dasar-dasar
agama. Muwardi sebagai pimpinan Pandu Kebangsaan atau Jong Java
Padvinderij saat berkemah dan berkongres di Solo (1929) menghendaki agar
Pandu Kebangsaan dapat berfusi dengan organisasi kepanduan lainnya.
Gagasan itu berdasarkan prinsip Muwardi bahwa “pandu yang satu adalah
saudara pandu yang lainnya. Oleh karena itu, seluruh pandu harus menjadi
satu.”. Setelah diadakan perundingan, dicapailah kesepakatan bahwa
Pandu Kebangsaan, Pandu Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale
Padvinders Organisatie (INPO) untuk melebur menjadi satu organisasi
kepanduan dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September
1930. Di organisasi tersebut Muwardi duduk sebagai Komisaris Besar
Kepanduan Bangsa Indonesia.
Patut dicatat adalah Umar Wirahadikusuma adalah anggota KBI semasa
sekolah di tingkat ELS, dan kebetulan pada 18 September 1948 menjabat
sebagai Pimpinan Batalyon IV Divisi Siliwangi dari Brigade Sadikin
bermarkas di Colomandu dan turut memberantas PKI saat itu. Setelah
mengadakan kongresnya yang pertama di Ambarwinangun, Yogyakarta pada
akhir Desember 1930. Pucuk .;pimpinan dijabat oleh Soewardjo
Tirtosoepono dan Muwardi, masing-masing sebagai Ketua Pengurus Besar dan
Komisaris Besar. Kongres itu juga terkenal sebagai Jambore Nasional KBI
I dikunjungi oleh 2/3 dari 57 cabang yang tersebar di Jawa, Bali,
Madura dan Sumatera.
Pembicaraan dalam kongres itu dititik beratkan pada perumusan yang sudah
ada berasal dari ketiga kepanduan yang telah menjadi satu untuk dipakai
pedoman kerja KBI sampai ada ketetapan dari kongres. Menjelang
berakhirnya Jambore tiba-tiba pada waktu itu, di sekitar daerah Muntilan
dekat Yogyakarta ditimpa bencana alam dengan meletusnya Gunung Merapi.
Pandu KBI yang sedang berjambore dikerahkan serentak untuk ikut serta
membaktikan tenaganya untuk mengurangi penderitaan para korban bencana
alam. Dalam kepercayaan Jawa, jika pada suatu keadaan penting terjadi
peristiwa besar maka keadaan penting tersebut akan menjadi besar dan
abadi.
Sepertinya, alam pun turut memberikan tanda bahwa KBI akan menjadi
organisasi yang besar dan dikenang. Pada bulan Juni 1931 KBI
melangsungkan Pertemuan Pemimpin I di Purworejo. Pertemuan ini besar
sekali artinya bagi jalannya sejarah KBI selanjutnya. Sebab di situlah
permulaan dasar-dasar KBI bahkan Pramuka antara lain : Menetapkan warna
“merah-putih” sebagi warna setangan-leher dan bendera KBI sesuai dengan
asas kebangsaan Indonesia.
Selain menghasilkan keputusan penting bagi sejarah kepanduan Indonesia
juga mensinyalir berdirinya satu kepanduan baru yang memakai nama
singkatan : KDI (Kepanduan Di Indonesia) bentukan NIPV. Setahun kemudian
(1932), KBI mengadakan Jambore Nasional II di Banyak, Malang.
Perkemahan itu dipimpin langsung oleh Komisaris Besar Muwardi sendiri
sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Di samping perkemahan biasa juga
diadakan pertemuan tersendiri bagi para pemimpin untuk merundingkan soal
organisasi dan pemimpin teknis mengenai kepanduannya. Hasil pertemuan
Pemimpin di Banyak itu menunjukkan langkah kearah konsolidasi kedalam
dan keluar.
Jambore yang dilangsungkan 19-21 Juli 1932 dikunjungi oleh wakil dari 69
cabang KBI, putusan terpenting antara lain mengenai : Upacara
Pelantikan Pandu dan Upacara Pengibaran Bendera. Jambore Nasional ke III
diadakan di Solo pada 20-24 Juni 1934. Dalam pertemuan Pemimpin itu
diambil putusan seperti : Mencetak Buku AD/ART, Petunjuk Permainan,
Peraturan Mendirikan Cabang dan sebagainya.
Sementara Pertemuan itu menetapkan Soeratno Sastroamijodjo menjadi Ketua
Pengurus Besar menggantikan Soewarjo Tirtosoepomo yang sejak
pertengahan tahun 1932 pindah ke Cilacap. Tak lama kemudian Muwardi
meminta cuti karena harus menghadapai ujian akhir sebagai dokter dan
keperluan persiapan menikah dengan istri pertamanya. Sebagai
penggantinya dipilih Abdulrachim dari Bandung. Dengan sendirinya
kedudukan Kwartir Besarpun ikut berpindah ke Bandung, Jawa Barat.
Jambore nasional pertama Pada waktu Chief-Scout Lord Baden Powell
singgah di Jawa dalam perjalanan ke Australia pada awal 1934, pandu
Indonesia di luar NIPV dilarang ikut menyambutnya. Muwardi sudah menduga
kemungkinan kejadian seperti itu. Maka dalam putusan pertemuan di Solo
pertengahan tahun 1934,
KBI mulai menyelenggarakan Jambore Daerah. Hampir bersamaan waktunya di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat diadakan Jambore Daerah
masing-masing bertempat di Kali Urang, Gresik dan Sukabumi di bawah
Komisaris Daerah Hertog, Mursito dan Dadi Cokrodipo dari Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Jambore Daerah sangat menarik perhatian masyarakat, terbukti di Jawa
Timur misalnya, Dr. Sutomo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. Maas dan
lain-lain ikut berjambore dan merasakan suka-duka hidup dalam
perkemahan : tidur di atas kasur tanah berbantal saku-punggung (rugtas),
mandi di sungai dengan WC model “plung-lap”. (begitu nyemplung-langsung
hilang terbawa arus) Tahun 1935, pada perkemahan per-sa-mi
(Perkemahan-Sabtu-Minggu) di Pasar Minggu (di Karang Teruna sekarang)
dimana ikut para anggota Pengurus Besar dan Komisaris Besar.
Diadakan diskusi tentang bagaimana cara KBI untuk mengadakan “ALL
INDONESIAN JAMBORE”. Satu Jambore untuk seluruh pandu Indonesia tanpa
memandang pada golongan dan agama, asal bukan anggota NIPV (Nederlands
Indische Padvinders Vereneging). Ide ternyata sambutan dari masyarakat,
khususnya dari kalangan kepanduan lain Periode 1936-1940 dimulai dengan
penyelenggaraan Jambore Nasional KBI ke IV di Kali Urang, Yogyakarta.
Perkemahan itu diadakan di lapangan Diponegoro, milik KBI Cabang Mataram
(Yogyakarta) dan berlangsung dengan serba memuaskan dibawah pimpinan
Komisaris Besar Muwarni. Pada pembukaan jambore di Kali Urang tahun 1936
Komisaris Besar Muwardi menyampaikan pidato yang sangat terkenal
berjudul Jambore. Atas inisiatif Komisaris Besar KBI Muwardi pada 26
April 1938 di Solo diadakan pertemuan antara anggota Persatuan Antar
Pandu Indonesia dengan mengudang beberapa Kwartir Besar Kepanduan
lainnya untuk menjelaskan tentang cita-cita diadakannya All Indonesian
Jambore.
Cita-cita ini dapat diterima oleh rapat. Kemudian diputuskan mendirikan
Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) yang berkedudukan
di Solo. Susunan Pengurusnya terdiri dari wakil-wakil : KBI-Ketua,
Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI)-Notulen, Nationale Islamietishe
Padvinderij(NATIPIJ)-Bendahara, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij
(SIAP)-Urusan Bagian Teknik. Konfrensi BPPKI di Bandung pada pertengahan
tahun 1939 memutuskan : Mengganti nama All Indonesian Jambore menjadi
Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem disingkat : PERKINO, dengan alasan
supaya nama itu sesuai dengan cita-cita kebangsaan dan diselenggarakan
di Solo pada Juli 1940
Akan tetapi putusan itu kemudian terpaksa ditunda sampai 1941
sehubunganan gentingnya suasana internasional akibat Perang Dunia I dan
II karena itu Perkino ke I dipindah ke Mataram (Yogyakarta). Setelah
diberikan jaminan bantuan dari para ketua Cabang dan Pengurus dari
B.P.K.M (Badan Persaudaraan Kepanduan Mataram) segeralah dibentuk
Panitia Perkindo yang diketuai oleh Dr. Martosoehodo.
Ternyata dari pihak masyarakat dan Sultan Hamengkubuwana IX juga sangat
mendukung dan memperhatikan acara tersebut, dengan memberikan bantuan
berupa moril maupun materil. Menurut rencana Perkino itu berlangsung
19-23 Juli 1941 bertempat di lapangan Gampingan. Dari berita 12 surat
kabar Indonesia, Tionghoa, dan Belanda pada zaman itu menunjukkan bahwa
Perkino ke I berhasil dengan memuaskan.
Sebagai bukti adalah kutipan berita dari Pemandangan (21 Juli 1941),
Mata-Hari (22 Juli 1941), Djokja-Bode (21 Juli 1941) dan Majalah
Mingguan “Gelanggang” (24 Juli 1941) Dari sini terlihat bahwa kepanduan
Indonesia di bawah pimpinan Muwardi waktu itu sudah sampai pada taraf
perkembangannya yang tinggi hingga akhirnya dibubarkan oleh pemerintah
Jepang. Sesudah berlangsungnya Perkindo ke II di Jakarta 2-12 Februari
1943 organisasi KBI dibekukan pada tanggal 4, bulan 4, tahun 4 (2640
atau 1944), jam 4 sore, di lapangan KBI Gang Tengah Jakarta.
Setelah Proklamasi Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, mulailah
pintu terbuka kembali bagi pandu untuk bergerak. Kesempatan ini segera
digunakan oleh Muwardi (setelah memimpin Barisan Pelopor di Jakarta
untuk mengawal Proklamasi dan telah pindah ke Solo) bersama-sama
kawan-kawan di KBI untuk menyusun pergerakan kepanduan Indonesia
kembali. Pada bulan September 1945, Muwardi bersama kawan pandu yang
lain berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia
Kesatuan Kepanduan Indonesia (PKPI) sebagai suatu panitia kerja,
menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepramukaan untuk seluruh
bangsa Indonesia dan segera mengadakan Konggres Kesatuan Kepanduan
Indonesia.
Muwardi sadar keadaan di tanah air tidak mengijinkan organisasi pandu
bekerja berpisah-pisah. Seluruh pandu harus bersatu untuk menghadapi
musuh yang mengganggu kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan hasrat bangsa
Indonesia pada waktu itu. Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada
27-29 Desember 1945 di Solo. Muwardi mengajak seluruh pandu dari
berbagai organisasi menyatukan tekadnya.
Tujuh belas kepanduan menghentikan serentak organisasinya masing-masing
untuk bersatu dalam Pandu Rakyat Indonesia (PRI) di kota Solo pada
tanggal 28 Desember 1945. Ketua sementara PRI dijabat oleh Muwardi dan
Komisaris Besarnya Hertog. Perkumpulan ini didukung oleh segenap
pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu
pemerintah RI mengakui PRI sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Pengawal Dwi Tunggal Tahun 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa Hokokai
(Kebaktian Rakyat Indonesia) yang pimpinan organisasinya langsung
berada di bawah komando pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai
mempunyai barisan yang namanya Shuisintai atau Barisan Pelopor yang
terdiri dari pemuda. Pemimpin umum Barisan Pelopor adalah Bung Karno,
sedang Sudiro sebagai Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian dengan dibantu
oleh para anggota pengurus, seperti Chaerul Saleh, Agus Karma, Asmara
Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata.
Pada tiap-tiap karisidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh
seorang Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karisidenan). Muwardi
adalah ketua Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya,
wakilnya adalah Wilopo, S.H. Dari luar Barisan Pelopor terlihat hanyalah
alat Jepang, tetapi dalam prakteknya menjadi wadah dan sarana
perjuangan para pemuda. Sebagai pimpinan Barisan Pelopor Daerah Jakarta
Raya, Muwardi membentuk Barisan Pelopor tingkat kecamatan. Kelak di
kemudian hari sesudah Bung Karno dipilih menjadi Presiden, atas usul
Sudiro, Bung Karno mengangkat Muwardi menjadi Ketua Umum Barisan
Pelopor. Dengan “radio-radio gelap” para pemuda sudah tahu tentang
kehancuran Jepang karena bom atom.
Berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik akhirnya tersebar
luas. Salah satu rencana yang santer di kalangan para pemuda dan
pemimpin-pemimpin pergerakan adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu, para pemuda membentuk Barisan Pelopor untuk mengamankan
para pemimpin perjuangan, seperti Soekarno dan Hatta. Muwardi diserahi
tugas untuk memimpin Barisan Pelopor di daerah Jakarta.
Sebagai markas Barisan Pelopor Jakarta adalah rumah milik pribadi
Muwardi di jalan Cik Di Tiro No 7. Di rumah berkamar 11 buah tersebut,
setiap hari rapat digelar untuk mempersiapkan strategi bagi kemerdekaan
Indonesia. Di situ selalu hadir Chaerul Saleh, Sudiro, Suwiryo, Dr.
Suharto dan Muwardi. Sering kali Muwardi menjual beberapa barang
miliknya untuk membeli makanan untuk para pemuda itu. Dalam rapat akbar
di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng) sehari sebelum proklamasi,
Barisan Pelopor bertugas untuk mengamankan lapangan itu dari kerusuhan
dan ancaman balatentara Jepang.
Lapangan Ikada dijaga ketat oleh serdadu Jepang. Setiap serdadu Jepang
yang berdekatan dengan rombongan Soekarno-Hatta diawasi oleh tiga orang
pemuda. Para pemuda yang mengelilingi dan mengawasi gerak-gerik
serdadu-serdadu Jepang itu adalah anak buah Muwardi, pada saat itu
komandan lapangan Barisan Pelopor adalah Moeffreini Moe’min seorang
bekasSyodancho dari Daidan I Jakarta.
Mereka adalah para pendekar pencak silat, bersenjatakan belati dan
rencong. Mereka bertugas merampas senjata dari tangan serdadu Jepang
bila situasi rapat umum menjadi gawat dan ternyata rapat itu berlangsung
dengan lancar tanpa gangguan keamanan. Namun menjelang Hari
Kemerdekaan, sebagai ketua Barisan Pelopor Jakarta Raya, yang dibantu
oleh Soegandi, Sudiro (pernah menjabat Walikota Jakarta Raya), Bendahara
Kampung Duri Jakarta Masihono, dan Suratno.
Pada suatu ketika tentara Jepang sedang mencari pemimpin Barisan
Pelopor. Bertepatan dengan kedatangan Masihono untuk mencari uang kas
Pelopor. Pada waktu itu Muwardi disembunyikan di kolong tempat tidur
Masihono. Bila pada detik itu Muwardi diketemukan oleh tentara Jepang
tentu pada saat itu pula Muwardi habis ajalnya. Seperti nasib pemimpin
lain tetapi, Tuhan masih melindunginya dan Muwardi selamat. Dalam
peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Muwardi
mendapat tugas dari para pemuda bersama Sayuti Melik untuk membangunkan
Bung Karno. Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan di
rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai
dikunjungi orang Muwardi menjamin keadaan aman kepada Dokter Soeharto,
dokter pribadi Bung Karno: “masih tidur semua, semua beres”. Muwardi
menunjuk kepada kelompok orang di belakang rumah sambil berkata “Itu
barisan berani mati yang saya pimpin”. Sudah diputuskan, pembacaan
Proklamasi akan dilangsungkan pagi itu, tetapi saatnya masih akan
ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidur menjelang subuh
sekembalinya dari rapat di rumah (Laksamana) Maeda. Di depan rumah Bung
Karno sudah kelihatan ada mikrofon berdiri dengan standardnya. Karena
instruksi Sudiro, Barisan Pelopor terus berdatangan ke Pegangsaan Timur
56. Waktu sudah mendekati pukul 10.00 tetapi Bung Hatta belum juga
datang. Muwardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno
dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja
tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah
menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan
tenang saja, tetapi karena Muwardi mendesak dengan nada marah Bung Karno
menjawab : “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak
ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi
sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu
Muwardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Muwardi melakukan itu
karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang
Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya
sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu
Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta
adalah seorang yang selalu memegang teguh, sebelum pukul 10.00 dia tiba.
Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua
keluar dan keluar rumah menuju halaman depan dimana sudah tersedia
mikrofon, tiang bendera dan para hadirin dan hadirin yang akan menjadi
saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.00 pagi. Setelah
pembacaan proklamasi dan upacaranya selesai, Bung Hatta dan
pemimpin-pemimpin lainnya pulang. Muwardi masih tinggal untuk berunding
dengan Sudiro memilih 6 orang dari Barisan Pelopor yang pendekar pencak
untuk menjadi Barisan Pelopor Istimewa yang bertanggung jawab atas
keamanan pribadi Bung Karno yang menjadi Presiden pertama RI sesudah
proklamasi kemerdekaan. Pimpinan barisan khusus itu diserahkan kepada
Sumantoyo, sedang petugas lainnya ialah antara lain Sukarto dan Tukimin.
Keenam orang itu setiap saat menanggulangi segala serangan terhadap
Presiden RI dengan segala kesediaan mengorbankan nyawa. Mengingat
keadaan pada waktu itu, segala kemungkinan dapat terjadi, terutama
tindakan keras dari pihak tentara Jepang. Dengan sangat detail Muwardi
memikirkan keselamatan pemipin Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Sesudah
18 Agustus 1945 Bung Karno dipilih menjadi Presiden maka tidak mungkin
lagi memimpin terus Barisan Pelopor. Pucuk pimpinan Barisan Pelopor
diserahkan ke Muwardi. Nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan
Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Meskipun pada 23 Agustus 1945
dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), BPRI tetap berdiri sendiri. BKR
mendirikan markas di jalan Cilacap no.5, (rumah milik kakek Jenderal
Prabowo Subianto) untuk wilayah karisidenan Jakarta pada 27 Agustus 1945
dipimpin Moeffreini Moe’min yang tak lain anak buah Muwardi di Barisan
Pelopor. Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet,
Muwardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai
Menteri Pertahanan namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya
sebagai dokter. Sehingga dalam sejarahnya jabatan itu diharapkan dapat
dipegang oleh Supriyadi, yang ternyata pada kenyataanya ternyata hilang
setelah melakukan pemberontakan Peta. Namun tindakan pejuang di dalam
kota tidak semuanya bisa dikontrol. Tidak sedikit kaum petualang yang
menyalahgunakan kesempatan mencari keuntungan sendiri. Tercatat BPRI
diboncengi oleh “Barisan Usung-Usung”, barisan yang mengangkut barang
milik rakyat untuk kepentingan pribadi hingga di sana-sini ada tuduhan
BPRI adalah perampok, pencuri danpembunuh. Oleh karena itu, kepada
Muwardi dianjurkan supaya kedudukan BPRI dipindahkan dari Jakarta. Waktu
itu Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke
Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Setelah Pemerintah RI
hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan
perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember
1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang
Matahari Singosaren), Solo. Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu
diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng
Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Muwardi sebagai
Pemimpin Umum. Sesuai dengan keputusan rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Menurut rencana
Muwardi akan ditunjuk sebagai pemimpin partai tunggal tersebut, tetapi
dengan adanya maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang
pemberian hak-hak legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP-KNIP) yang dapat menentukan Garis-Garis Besar Haluan Politik
Negara/Pemerintah. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden
melainkan bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat.
Orang-orang yang duduk dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP merupakan
wakil-wakil dari partai-partai. Pada 30 Oktober 1945, ketika Soekarno,
Hatta dan Amir Syarifuddin berada di Surabaya untuk menenangkan keadaan,
maka KNIP bersidang dan mengambil keputusan membuka kesempatan kepada
masyarakat untuk mendirikan partai-partai dengan berbagai pertimbangan.
Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin mendirikan Partai Sosial Indonesia;
Iwa Kusumasumantri mendirikan Partai Buruh, Dr. Sukiman mendirikan
Partai Masyumi, Mangunsarkoro dengan Partai Nasionalis Indonesia,
Sukarni mendirikan Partai Murba (Muwardi sempat terlibat aktif
didalamnya) dan partai-partai lain didirikan. Kabinet pertama, kabinet
presidensiil dijatuhkan oleh KNIP sebagai Badan Legislatif. Syahrir
kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan
Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Amir Syariffudin selain memegang jabatan
Menteri Keamanan Rakyat juga merangkap sebagai Menteri Penerangan.
Kalau kabinet pertama dianggap dekat dengan politik “kolaborasi dengan
Jepang” maka kabinet kedua dekat dengan politik “kolaborasi dengan
Belanda”. Karena politik kabinet Syahrir adalah politik “berunding
dengan Belanda” mengakibatkan oposisi terhadap kabinet meningkat pada
awal tahun 1946. Pada tanggal 5 Januari 1946 di Purwokerto diadakan
pertemuan oleh partai-partai dan badan-badan perjuangan yang tidak
sehaluan dengan “politik” Kabinet Syahrir untuk membentuk Persatuan
Perjuangan (PP). Sementara itu Muwardi segera meluaskan sayap Barisan
Banteng dengan menyusun cabang-cabang di tiap-tiap Karisidenan,
ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di Kawedanaan. Bersama
dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling mengadakan
inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga ke
Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi
Laskar Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen,
berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan
Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo
memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan
majalah Banteng. Karena kegiatan menjalankan inspeksi ke Bandung
menyebabkan Muwardi terlibat dalam peristiwa “Bandung Lautan Api” 23
Maret 1946 bersama-sama tokoh-tokoh Barisan Banteng, Toha, A.H. Nasution
dan Suprayogi. Meskipun sibuk memimpin Barisan Banteng, Muwardi tidak
sedikit menyumbangkan pikiran-pikiran perjuangan termasuk strategi
militer kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Jenderal Sudirman dan
Jenderal Urip Sumohardjo, Urip tak lain masih sesaudara ipar dengannya.
Ditarik ke dunia Politik Pengaruh, kecakapan dan kesanggupan Muwardi
dalam memimpin perjuangan diakui oleh kalangan luas di samping
perhatiannya yang besar terhadap masalah politik sehingga kaum politisi
berhasrat menariknya ke dalam perjuangan politik. Pendekatan kaum
politisi kepada Muwardi mendapat jalan setelah diketahui Muwardi,
Sudirman, Urip Sumohardjo dan Tan Malaka tak menyetujui Perjanjian
Linggarjati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini
berakhir usai Agresi Belanda I tanggal 1 Juli 1947, Kemudian diadakan
gencatan senjata dan diadakan perundingan Indonesia-Belanda di kapal
Amerika, Renville di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB
tanggal 17 Januari 1948 yang berakhir dengan ditandatanganinya
Persetujuan Renville. Persetujuan Renville pada hakekatnya mendapat
banyak tentangan mengakibatkan pembentukan Kabinet Presidensil dengan
Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. PKI lewat Partai Sosialis Amir
Syarifuddin menuntut kursi Menteri Pertahanan, tetapi ditolak dan kursi
itu dirangkap oleh Bung Hatta sendiri. Amir Syarifuddin tidak tinggal
diam dan bertindak mendirikan FDR (front Demokrasi Rakyat) tanggal 26
Februari 1948 yang beranggotakan PKI, PS-Amir Syarifuddin, PIB (Partai
Buruh Indonesia), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu BBRI
mengadakan kongres di Sarwakan, Solo (sekarang Jl. Honggopranoto) untuk
menentang perundingan dengan Belanda yang dilakukan Pemerintah Syahrir.
Kongres itu dihadiri oleh Presiden Sukarno untuk mencegah agar jangan
sampai Muwardi dengan Barisan Banteng-nya terlibat perselisihan politik
dengan pihak pemerintah. Karena kedua sikap politiknya itu, yaitu anti
perundingan dengan Belanda dan Anti Swapraja, maka Muwardi bersama
Mulyadi Joyomartono ditangkap atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr.
Soedarsono. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali untuk menghindarkan
tindak kekerasan dari BBRI dan simpatisannya kalau sampai Muwardi tidak
dibebaskan. Selain itu ada juga campur tangan Sudirman dan Urip
Sumohardjo, menyebabkan pemerintah berpikir banyak jika menahan Muwardi.
Sejak PKI berdiri kembali tanggal 25 Oktober 1945, sejak pertengahan
tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang
menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Diantaranya garis dan
golongan Sosialis menjurus ke Komunis (Partai Sosialis, Partai Buruh,
Partai Komunis Indonesia, Pesindo) dan golongan Nasionalis (PNI,
Masyumi, BPRI, Barisan Banteng). Polarisasi partai-partai dan golongan
itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi
Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri
Syahrir tanggal 27 Juni 1946, sehingga kekuatan negara sepenuhnya ada
ditangan Presiden Sukarno. Namun peristiwa penculikan tersebut hanya
berlangsung sehari semalam. Kejadian tersebut berlanjut dengan kudeta
militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli
1946 beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan untuk mengatasi keadaan
yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946. Pemerintah Pusat
berlandaskan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 16/SD mengangkat Mr.
Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil
Residen Surakarta. Keduanya berasal dari golongan Nasionalis (PNI dan
Barisan Banteng). Tetapi pengangkatan itu ditentang oleh Golongan
Komunis dengan mengajukan resolusi tanggal 8 Oktober 1946. Karena
tentangan itu, Pemerintah Pusat sampai mengeluarkan Ketetapan Pemerintah
lagi pada tanggal 22 Oktober 1946 No. 21/ SD. Isi ketetapan itu
memerintahkan agar kedua pejabat tersebut kembali ke pos-nya untuk
menjalankan tugas pekerjaannya. Namun, Mr Iskak Tjokroadisujo dan Sudiro
tidak dapat menjalankan pekerjaan karena pada tanggal 9 November 1946
malahan diculik oleh golongan tertentu. Dan golongan tertentu itu
mengangkat Soejas dan Dasuki masing-masing menjadi Residen dan Wakil
Residen Surakarta. Golongan tertentu itu adalah golongan Sosialis yang
menjurus ke Komunis, karena Soejas dan Dasuki termasuk di dalamnya.
Pertentangan antara dua golongan itu terus memuncak akibat adanya
Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang berbentuk
“Pro” dan “Kontra” perjanjian tersebut. Kemudian golongan yang pro ini
membentuk front ” Sayap Kiri” dan terdiri dari Partai Sosialis, PBI,
PKI, Pesindo. Sedang yang Kontra juga membentuk front yang bernama
“Benteng Republik” dan terdiri dari PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng
RI. Perjanjian Linggarjati itu akhirnya mendapat tentangan dari anggota
partainya sendiri, yaitu Syahrir sendiri. Akibatnya timbul perpecahan
dalam Partai Sosialis. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Ada
yang menyebut SOSKA-Sosialis Kanan) dan Amir Syarifuddin tetap dengan
Partai Sosialinya yang nantinya bergabung dengan FDR/PKI. Karena itulah
maka jatuhlah Kabinet Syahrir (yang ketiga) pada tanggal 26 Juli 1947.
Setelah itu dibentuk Kabinet baru di mana Perdana Menterinya adalah Amir
Syarifuddin (merangkap Menteri Pertahanan). Kabinet ini melanjutkan
perundingan-perundingan dengan Belanda yang menghasilkan suatu
persetujuan yang nilainya dapat dipandang sebagai lebih merugikan
Indonesia kalau dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati, adalah yang
disebut Persetujuan Renville.
No comments:
Post a Comment